Selasa, 11 Maret 2008

Larangan Berpacaran

Berpacaran ialah perbuatan yang timbul dari dorongan syahwat dan kasih sayang antara lelaki dan perempuan hingga keduanya mencurahkan kehendak diri berbentuk ucapan dan tingkah laku di luar hukum berupa suami istri tidak sah. Perbuatan itu berarti berzina atau setidak-tidaknya mendekati zina yang nyata terlarang menurut Ayat 17/32.
Kebiasaan berpacaran mengurangi keinginan untuk menikah menurut hukum yang berlaku karena sebagian dari kehendak syahwat telah dapat dipenuhi, padahal pernikahan sangat dibutuhkan masyarakat manusia untuk membentuk generasi keturunan. Berpacaran adalah perbuatan tidak resmi dan tiada negara yang menyusun undang-undang khusus untuk itu, tetapi mungkin menjadi tradisi dalam masyarakat manusia dan memang telah jadi kebiasaan kafir, padahal telah menjadi ketentuan bahwa setiap perbuatan tidak resmi di luar hukum selalu menimmbulkan kegelisahan dan pertantangan yang berujung pada perbantahan dan kekacauan.
Jadi larangan berpacaran dalam masyarakat Islam bukanlah berupa perkosaan dan kungkungan terhadap naluri manusia, tetapi berbentuk peraturan yang menguntungkan masyarakat untuk kemakmuran hidup bersama berkelanjutan serta mencegah timbulnya kekacauan yang mungkin berlaku kini dan pada generasi mendatang. Memang banyak akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan berpacaran, umumnya jahat dan buruk, sedikit sekali yang baik, antara lain sebagai berikut:

1. Tindakan berpacaran umumnya menjurus kepada hubungan seksual di luar nikah selaku perbuatan sangat tercela dan terkutuk, dan yang paling parah ialah lahirnya bayi tanpa bapak menurut hukum. Penyelesaian perkara dalam hal ini sangat sulit dan menyedihkan terutama bagi yang perempuan, apalagi jika diselesaikan menurut hukum dalam Alquran.

2. orang yang berpacaran terbiasa menyimpan rahasia yang kebanyakan dipandang tidak baik dalam kehidupan masyarakat. Hal itu membawanya kepada pertumbuhan yang tidak dapat diharapkan sebagai pribadi sempurna. Akhirnya dia terbiasa berbohong, menipu, dan tak dipercaya dalam pergaulan.

3. Orang yang berpacaran terbiasa mengelamun, berkhayal pada yang sukar terlaksana terutama dalam hubungan kehendak syahwat yang bebas selaku suami-istri. Hal ini mendidiknya bersikap tidak obyektif, penuh kepalsuan, dan bertumbuh tanpa ketabahan dengan tingkah laku tak menentu.

4. Orang yang berpacaran terbiasa membuang waktu secara percuma karena memikirkan masa depan penuh keraguan, bahkan kadang-kadang memakai harta benda dengan pemborosan, mempersolek diri berlagak gagah dan cantik. Hal ini merugikan dirinya dalam urusan lain yang lebih penting, seperti dalam pelajaran, perekonomian. dan sebagainya.

5. Perbuatan berpacaran adalah peragaan dari dorongan syahwat yang harus dipenuhi di luar hukum, seringkali terbentur mencapai kehendaknya, dan sangat dibenci dalam masyarakat Islam. Hal itu akan membawa pelakunya kepada monoseks, mimpi seksual dan tindak tanduk lain yang merugikan diri dalam pertumbuhan. Kerugian itu berpengaruh pada masyarakat lingkungan bahkan juga pada generasi mendatang.

6. Seringkali orang yang berpacaran tidak direstui ibu hapaknya yang harus menentukan jodohnya atau yang berhak atas akad nikahnya menurut hukum. Keadaan begitu mungkin menyebahkan dia:

a. Lebih banyak menyimpan rahasia prihadi yang sebenarnya tidak disenangi keluarga.

b. Lebih banyak memikir dan berkhayal tentang cara bagaimana mencapai kehendak hatinya begitu pun mencapai kehendak syahwatnya, hingga dia lebih terbiasa pada monoseks, bahkan mungkin pula berpindah kepada lesbian atau homoseks.

c. Jadi pendiam, murung,tak suka bergaul sebagaimana mustinya, hingga kemudian mengarnbil putusan nekad seperti misalnya rnelarikan diri dari rumah keluarga, pcrgi ke daerah lain bersama pacarnya tanpa izin orang tua, menghabisi hidupnya dengan kematian direncanakan, atau pun berubah jadi edan, rusak fikiran, dan sebagainya.


7. Seringkali pula orang yang berpacaran, itu gagal menurut rencana bermula, digagalkan oleh berbagai sebab, misalnya:
a. Salah seorang di antara keduanya berbau amis atau memiliki cacat diri yang tersembunyi. Hal ini baru diketahui setelah tindakan berpacaran itu jadi semakin akrab.

b. Salah seorang di antaranya memiliki cacat keturunan atau cacat keluarga yang kemudian baru diketahui.

c. Salah seorang di antaranya berpindah daerah tcmpat tinggal dibawa orang tua sendiri, atau mcngalami kematian oleh sesuatu sebab.

d. Salah seorang di antaranya berpindah cinta kcpada orang lain yang dianggap lebih menarik hati.[/INDENT]

Kegagalan di atas ini menyebabkan orang lebih nekad rnencari pacar baru menurut kehendak hati dan syahwat. Tetapi mungkin pula dia menahan diri beberapa tahun atau untuk selamanya tinggal membujang dalam keadaan patah hati. Sikap begini juga bertantangan dengan hukum Islam karena meniadakan keturunan bagi generasi mendatang.

8. Orang yang berpacaran jarang sekali memenui hasil yang diidamkan bermula, disebabkan oleh berbagai alasan. Sementara itu, tidak semua orang suka berpacaran, bahkan banyak sekali yang mengutuk perbuatan itu, maka orang-orang ini sangat berhati-hati dalam memilih jodoh, karenanya fihak orang tua jadi semakin susah mencarikan jodoh anaknya. Hal ini adalah suatu kerugian besar bagi masyarakat yang membiasakan berpacaran.

9. Umumnya orang-orang yang berpacaran lebih cenderung kepada pergaulan bebas, kadang-kadang terpedaya kepada perzinaan, monoseks, lesbian, atau homoseks. Karena itulah hukum Islam menamakan tindakan berpacaran itu dengan "mendekati zina," termuat pada Ayat 17/32. Maka perzinaan dengan pacar sendiri membuka kesempatan dan kebiasaan berzina dengan orang lain, bahkan memudahkan orang memasuki lapangan pelacuran yang mulanya terwujud dalam masyarakat kafir yang suka berpacaran.


Sumber hukum tentang pelarangan berpacaran banyak kita dapati dalam Alquran, antara lain seperti dimaksudkan di bawah ini:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
5/5. Hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, serta makanan orang-orang diberi Kitab halal bagimu,
juga makananmu halal bagi mereka, dan (menikahi) yang terjaga dari Mukminat begitupun perempuan
terjaga dari orang-orang diberi Kitab sebelum kamu ketika kamu berikan belanja (mas kawin) mereka
selaku orang menjaga (selaku suami), bukan berzinah dan tidak menjadikan pacar. Siapa yang kafir
pada keimanan, sungguh lenyap amalnya dan dia di Akhirat termasuk orang-orang merugi.

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
17/32. Dan jangan dekati zina, bahwa dia kekejian dan
garis hukum yang jahat.

Yang hampir bersamaan dengan pacaran ialah bertunangan yaitu berjanji, secara resmi atau tidak, antara lelaki dan perempuan bahwa keduanya nanti pada suatu waktu akan menikah untuk jadi suami-istri. Perbuatan ini adalah suatu tradisi dalam masyarakat kafir, kemudian berkcmbang pula di antara orang-orang Islam tanpa sadar bahwa perbuatan itu dilarang menurut hukum yang tercantum dalam Aya 2/235.
Ada dua hal yang menyebabkan adanya pertunangan yaitu kehendak ibu-bapak dari kedua orang bersangkutan dan hubungan cinta antara lelaki dan perempuan tanpa sepengetahuan ibu-bapa keduanya. Perincian kedua hal itu adalah sebagai berikut:


1. Pertunangan yang berlaku atas kehendak ibu-bapak mungkin mendapat sambutan:

a. Tidak disetujui oleh salah seorang atau oleh kedua orang yang dipertunanmgkan. Biasanya pertunangan ini tidak sampai pada pernikahan, tetapi adakalanya kedua orang itu sampai menikah dengan paksaan resmi atau tidak yang dilakukan oleh pihak orang tua. Dalam perkawinan begini mungkin terwujud rumah tangga yang baik seperti diharapkan orang tua, tetapi kebanyakannya gagal mencapai kerukunan hingga kemudian berakhir dengan perceraian.

b. Disetujui oleh kedua orang yang dipertunangkan, maka kemudiannya pada waktu yang telah ditentukan, berlangsunglah akad nikah menurut hukum yang berlaku. Dalam perkawinan begini seringkali terwujud rumah tangga bahagia, namun ada juga yang gagal dan berakhir dengan perceraian.


2. Pertunangan yang berlaku atas kehendak lelaki dan perempuan bersangkutan mungkin mendapat sambutan:

a. Disetujui olch ibu-bapak kedua belah pihak, maka pada waktu kemudiannya berlakulah pernikahan untuk membentuk rumah tangga yang mungkin bahagia dan mungkin pula berujung dengan percerain.

b. Tidak disetujui oleh ibu-bapak satu pihak atau kedua pihaknya. Keadaan ini menjadi pukulan berat bagi yang bertunangan, ada yang membatalkan pertunangan itu secara sukarela dan melanjut.